Pembagian Waris Menurut Islam
oleh
Muhammad Ali Ash-Shabuni
A.
Definisi Waris
Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah
bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan.
Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang
lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Pengertian menurut bahasa ini
tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi
mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan
hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman:
"Dan Sulaiman telah mewarisi
Daud ..." (an-Naml: 16)
"... Dan Kami adalah
pewarisnya." (al-Qashash: 58)
Selain itu kita dapati dalam hadits
Nabi saw.:
'Ulama adalah ahli waris para nabi'.
Sedangkan makna al-miirats menurut
istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang
yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan
itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal
secara syar'i.
Pengertian peninggalan yang dikenal
di kalangan fuqaha ialah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa
harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang
ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk
di dalamnya bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan
dengan pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang
yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya
pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).
Dari sederetan hak yang harus
ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta peninggalan adalah:
1. Semua keperluan dan pembiayaan
pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya, dengan catatan tidak
boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala
sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di
antaranya, biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan
sebagainya hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir.
Satu hal yang perlu untuk diketahui
dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan tersebut akan berbeda-beda
tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari
jenis kelaminnya.
2. Hendaklah utang piutang yang masih
ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta
peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum
utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah saw.:
"Jiwa (ruh) orang mukmin
bergantung pada utangnya hingga ditunaikan."
Maksud hadits ini adalah utang
piutang yang bersangkutan dengan sesama manusia. Adapun jika utang tersebut
berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum membayar zakat, atau belum menunaikan
nadzar, atau belum memenuhi kafarat (denda), maka di kalangan ulama ada sedikit
perbedaan pandangan. Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa ahli
warisnya tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama
berpendapat wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan
(harta peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya.
Kalangan ulama mazhab Hanafi
beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut merupakan ibadah, sedangkan
kewajiban ibadah gugur jika seseorang telah meninggal dunia. Padahal, menurut
mereka, pengamalan suatu ibadah harus disertai dengan niat dan keikhlasan, dan
hal itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang yang sudah meninggal. Akan
tetapi, meskipun kewajiban tersebut dinyatakan telah gugur bagi orang yang sudah
meninggal, ia tetap akan dikenakan sanksi kelak pada hari kiamat sebab ia tidak
menunaikan kewajiban ketika masih hidup. Hal ini tentu saja merupakan keputusan
Allah SWT. Pendapat mazhab ini, menurut saya, tentunya bila sebelumnya mayit
tidak berwasiat kepada ahli waris untuk membayarnya. Namun, bila sang mayit
berwasiat, maka wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya.
Sedangkan jumhur ulama yang
menyatakan bahwa ahli waris wajib untuk menunaikan utang pewaris terhadap Allah
beralasan bahwa hal tersebut sama saja seperti utang kepada sesama manusia.
Menurut jumhur ulama, hal ini merupakan amalan yang tidak memerlukan niat
karena bukan termasuk ibadah mahdhah, tetapi termasuk hak yang menyangkut harta
peninggalan pewaris. Karena itu wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya, baik
pewaris mewasiatkan ataupun tidak.
Bahkan menurut pandangan ulama
mazhab Syafi'i hal tersebut wajib ditunaikan sebelum memenuhi hak yang
berkaitan dengan hak sesama hamba. Sedangkan mazhab Maliki berpendapat bahwa
hak yang berhubungan dengan Allah wajib ditunaikan oleh ahli warisnya sama
seperti mereka diwajibkan menunaikan utang piutang pewaris yang berkaitan
dengan hak sesama hamba. Hanya saja mazhab ini lebih mengutamakan agar
mendahulukan utang yang berkaitan dengan sesama hamba daripada utang kepada
Allah. Sementara itu, ulama mazhab Hambali menyamakan antara utang kepada
sesama hamba dengan utang kepada Allah. Keduanya wajib ditunaikan secara
bersamaan sebelum seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada setiap
ahli waris.
3. Wajib menunaikan seluruh wasiat
pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta
peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang
yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh
ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah sebagian harta
tersebut diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya, termasuk diambil untuk
membayar utangnya.
Bila ternyata wasiat pewaris
melebihi sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak
wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua ahli warisnya. Hal ini
berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi
Waqash r.a. --pada waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta
yang dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda: "... Sepertiga,
dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para ahli
warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam
kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang."
4. Setelah itu barulah seluruh harta
peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan
Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma'). Dalam hal ini dimulai
dengan memberikan warisan kepada ashhabul furudh (ahli waris yang telah
ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya),
kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta
waris --jika ada-- setelah ashhabul furudh menerima bagian).
Catatan:
Pada ayat waris, wasiat memang lebih
dahulu disebutkan daripada soal utang piutang. Padahal secara syar'i, persoalan
utang piutang hendaklah terlebih dahulu diselesaikan, baru kemudian
melaksanakan wasiat. Oleh karena itu, didahulukannya penyebutan wasiat tentu
mengandung hikmah, diantaranya agar ahli waris menjaga dan benar-benar
melaksanakannya. Sebab wasiat tidak ada yang menuntut hingga kadang-kadang
seseorang enggan menunaikannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan utang
piutang. Itulah sebabnya wasiat lebih didahulukan penyebutannya dalam susunan
ayat tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar